Penjara Hati Nuraeni HG, Bidang Imajinasi tentang Jendela
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mendiang Hendra Gunawan dikenal sebagai maestro lukis Indonesia. Banyak karyanya yang mengombinasikan nilai-nilai lukis modern dari barat dengan nilai-nilai tradisi lokal.
Semasa hidupnya, mendiang Hendra Gunawan dipertemukan dengan Nuraeni di Rutan Kebon Waru Bandung. Nuraeni sendiri mempunyai kecintaan dan ketertarikan di dunia kesenian . Dia pun mewarnai proses berkeseniannya.
Nuraeni menjalani kehidupan seninya dengan menyanyi tunggal, paduan suara, bermain drama, menjadi mayoret dan memimpin kelompok drumband di organisasi Pemuda Rakyat.
Hingga pada akhirnya, Nuraeni terbawa pada permasalahan peristiwa tragedi kemanusiaan 1965 yang sama sekali tidak dia mengerti dan pahami.
Melalui proses panjang, Nuraeni harus menjalani dan menerima segala tuduhan yang kemudian menyeretnya sebagai tahanan politik dan dikirim ke Rutan Kebon Waru.
Semasa menjadi tahanan politik di Kebon Waru, Nuraeni bersama beberapa kawannya mendapat kesempatan belajar melukis yang dibimbing langsung Hendra Gunawan. Selama proses belajar melukis itulah Hendra Gunawan melihat bakat dan talenta yang sangat tinggi dari diri Nuraeni.
Bersama Hendra Gunawan, Nuraeni terus mengasah bakatnya. Berkat kemahirannya, dia dipercaya ikut terlibat kolaborasi bersama Hendra Gunawan dan pelukis lainnya dalam sebuah proyek seni sebuah pesanan lukisan. Nuraeni pada 1972 akhirnya dinyatakan bebas, dan setelahnya dia terus berkarya.
Enam tahun berselang, Hendra Gunawan dinyatakan bebas, Nuraeni yang telah menikah di Penjara Kebon Waru memiliki waktu dengan sang maestro untuk kembali menjalani kehidupan bersama dan terus melukis.
Baik Nuraeni maupun Hendra Gunawan, keduanya saling menghormati pada titik pencapaian masing-masing. Mereka seperti saling memberikan pengaruh atas pemikiran dan pengalaman pribadinya sebagai seniman, termasuk gagasan, teknik maupun pemilihan warna yang dihadirkan.
Semasa hidupnya, mendiang Hendra Gunawan dipertemukan dengan Nuraeni di Rutan Kebon Waru Bandung. Nuraeni sendiri mempunyai kecintaan dan ketertarikan di dunia kesenian . Dia pun mewarnai proses berkeseniannya.
Nuraeni menjalani kehidupan seninya dengan menyanyi tunggal, paduan suara, bermain drama, menjadi mayoret dan memimpin kelompok drumband di organisasi Pemuda Rakyat.
Hingga pada akhirnya, Nuraeni terbawa pada permasalahan peristiwa tragedi kemanusiaan 1965 yang sama sekali tidak dia mengerti dan pahami.
Melalui proses panjang, Nuraeni harus menjalani dan menerima segala tuduhan yang kemudian menyeretnya sebagai tahanan politik dan dikirim ke Rutan Kebon Waru.
Semasa menjadi tahanan politik di Kebon Waru, Nuraeni bersama beberapa kawannya mendapat kesempatan belajar melukis yang dibimbing langsung Hendra Gunawan. Selama proses belajar melukis itulah Hendra Gunawan melihat bakat dan talenta yang sangat tinggi dari diri Nuraeni.
Bersama Hendra Gunawan, Nuraeni terus mengasah bakatnya. Berkat kemahirannya, dia dipercaya ikut terlibat kolaborasi bersama Hendra Gunawan dan pelukis lainnya dalam sebuah proyek seni sebuah pesanan lukisan. Nuraeni pada 1972 akhirnya dinyatakan bebas, dan setelahnya dia terus berkarya.
Enam tahun berselang, Hendra Gunawan dinyatakan bebas, Nuraeni yang telah menikah di Penjara Kebon Waru memiliki waktu dengan sang maestro untuk kembali menjalani kehidupan bersama dan terus melukis.
Baik Nuraeni maupun Hendra Gunawan, keduanya saling menghormati pada titik pencapaian masing-masing. Mereka seperti saling memberikan pengaruh atas pemikiran dan pengalaman pribadinya sebagai seniman, termasuk gagasan, teknik maupun pemilihan warna yang dihadirkan.